Menimbang Kembali Pembatasan CPNS Guru

Ilustrasi Tes CPNS
Ilustrasi: Luthfy Syahban

Maharini, sepupu saya, baru saja menyelesaikan pendidikan S1-nya di salah satu universitas negeri di Solo. Pada Juli 2020 kemarin ia diwisuda dengan menyandang gelar sarjana pendidikan. IPK-nya bagus. Dengan suka cita waktu itu ia berkata kepada saya, meminta untuk mendoakannya agar pada tahun 2021 bisa mengikuti seleksi CPNS dan dinyatakan lolos supaya bisa segera mengajar. Ya, setahu saya, menjadi guru memang sudah menjadi cita-citanya sejak kecil.

Kemarin saya bertamu ke rumahnya dan mendapati wajahnya tampak tak bersemangat. "Duh, gimana ini, Mbak? Sepertinya setelah lulus ini aku akan menganggur cukup lama," keluhnya. Saya paham maksud dari ucapan tersebut. Itu pasti karena pemerintah baru-baru ini mengumumkan bahwa formasi guru ditiadakan dalam seleksi rekrutmen CPNS tahun ini. 

Sungguh, kabar tersebut memang terasa tidak menyenangkan bagi para sarjana pendidikan yang pastinya berharap bisa segera mengabdikan diri dengan berbagi ilmu pada peserta didik. Belakangan, setelah menuai banyak protes dari berbagai pihak, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan bahwa seleksi CPNS untuk guru masih mungkin akan tetap diadakan. Namun, ia menyebut bahwa pada tahun ini pemerintah akan fokus merekrut guru honorer lewat jalur PPPK. 

Dalam pandangan saya, pernyataan Nadiem tersebut dibuat hanya demi mengurangi kegaduhan di tengah masyarakat yang semakin banyak memberi respons negatif terhadap peniadaan formasi guru dalam seleksi CPNS.

Tak berselang lama, kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Bima Haria Wibisana juga mengungkapkan bahwa rekrutmen guru CPNS akan dibuka secara terbatas. Bima mengatakan bahwa tidak semua formasi guru akan dibuka. Seleksi CPNS terbatas pada formasi guru manajerial saja, seperti kepala sekolah dan pengawas. Itu artinya, para lulusan sarjana pendidikan akan semakin sulit memiliki kesempatan menjadi PNS. Saat ini, saya yakin banyak sekali yang merasa kecewa seperti Maharini, sepupu saya itu. Tidak dapat dipungkiri, PNS memang merupakan profesi yang cukup banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya peminat yang mengikuti ujian seleksi CPNS setiap tahun. Pada seleksi CPNS 2019 kemarin, formasi guru termasuk salah satu formasi yang memiliki jumlah pelamar terbanyak.

Besarnya peminat formasi guru dalam seleksi CPNS kemungkinan disebabkan banyaknya sarjana dari rumpun ilmu pendidikan. Pada 2019, jumlah sarjana pendidikan mencapai 244 ribu. Jumlah tersebut menempati urutan pertama, sementara rumpun ilmu bisnis dan ilmu kesehatan mengekor di belakangnya.

Banyaknya lulusan sarjana pendidikan ini tentulah bukan tanpa alasan. Salah satunya menyangkut perekonomian masyarakat Indonesia. Ambil saja contoh di daerah tempat tinggal saya dan Maharini. Lantaran mayoritas pekerjaan orangtua adalah bertani dan bahkan buruh tani, maka kebanyakan orangtua hanya mampu menguliahkan anak di fakultas yang cukup terjangkau biayanya. Dan, Fakultas Pendidikan salah satunya.

Selain itu banyak pula orang yang berpikir bahwa profesi guru merupakan profesi yang mulia. Anggapan bahwa menjadi guru adalah sama halnya dengan berinvestasi untuk akhirat begitu kuat di masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Meski begitu, tentu saja yang dimaksud menjadi guru di sini adalah guru PNS, yang bisa mengajar dengan tenang tanpa harus mengkhawatirkan gaji yang kadang menunggak seperti yang beberapa kali terjadi pada guru-guru honorer.

Sementara ini pemerintah akan mengalihkan seleksi guru CPNS ke PPPK yang kuotanya mencapai satu juta. Namun, tentu hal tersebut belum bisa dikatakan adil bagi semua pihak karena seperti yang kita tahu bahwa untuk mengikuti seleksi PPPK ada persyaratan dan kriteria yang harus dipenuhi. Pertama, telah terdaftar di Dapodik baik mengajar di sekolah negeri maupun swasta. Kedua, individu yang memiliki sertifikat pendidik atau telah lulus program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Ketiga, guru honorer K2 yang pernah terdaftar di Dapodik ataupun database BKN.

Syarat tersebut tentu belum dimiliki oleh para fresh graduate sarjana pendidikan dan bahkan lulusan lama yang sama sekali belum mendapatkan tempat mengabdi. Tadinya, seleksi CPNS merupakan harapan bagi mereka. Apalagi saat ini, mendaftarkan diri untuk menjadi guru honorer juga semakin sulit. Tak jarang, perekrutan guru honorer di sekolah justru melibatkan orang dalam. Siapa yang punya kenalan orang dalam maka akan semakin mudah baginya mendapat pekerjaan.

Persaingan menjadi guru honorer pun juga semakin ketat karena profesi guru sampai saat ini masih bisa dimasuki oleh jurusan lain non pendidikan. Di sekolah-sekolah, khususnya sekolah swasta masih banyak mempekerjakan guru dari berbagai jurusan non pendidikan. Sarjana kebidanan dan hukum misalnya, mereka sangat mungkin mendaftarkan diri dan diterima menjadi pengajar di suatu sekolah. Hal tersebut tentu saja semakin mempersulit lowongan kerja para sarjana pendidikan.

Pengumuman dibukanya seleksi PPPK bagi satu juta guru itu memang merupakan angin segar bagi dunia pendidikan. Sebagai seorang guru, jujur saya merasa sangat bahagia. Namun, kebahagiaan itu hanya sebentar saja setelah mengetahui bahwa pemerintah membatasi seleksi CPNS dengan hanya membuka formasi guru manajerial. Hal tersebut tentu saja tak hanya membunuh harapan para lulusan ilmu pendidikan yang jumlahnya sangat banyak, tetapi juga hati para orangtua yang telah mengorbankan seluruh tenaga dan bahkan beberapa petak sawah dengan harapan anak-anaknya kelak menjadi guru yang sejahtera.

Jika demikian, mungkinkah kiranya pemerintah mengubah kembali kebijakan tersebut agar dunia pendidikan tak kehilangan peminatnya?

J. Masruroh guru MAN 2 Lamongan

(mmu/mmu)