Tepatkan Kebijakan PPPK Guru

Ilustrasi guru dan murid
Foto ilustrasi: shutterstock

Tahun ini pemerintah meniadakan formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk guru. Sebagai gantinya, guru akan diangkat melalui formasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Kebijakan ini menuai kontroversi. 

Dalam keterangannya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyatakan batas PPPK akan dibuka hingga jumlahnya mencapai 1 juta guru nantinya. Pemerintah menyatakan bahwa kebijakan PPPK ini merupakan satu solusi untuk mengatasi masalah guru honorer atau guru kontrak di daerah-daerah yang selama ini kesejahteraannya masih memprihatinkan.  

Banyak guru yang gajinya jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR) daerah bersangkutan. Banyak yang akhirnya memiliki pekerjaan sampingan sebagai pengojek, membuka lembaga les belajar, atau mengajar di banyak tempat, sehingga justru tidak optimal dalam mendampingi siswa-siswinya belajar.

Kebijakan PPPK agaknya menjadi semacam kompromi untuk menaikkan standar gaji guru honorer, namun statusnya pada hakikatnya tetap, yaitu tetap saja merupakan guru kontrak yang bisa saja diputus kontrak kerjanya dan tidak mendapat pensiun. Alasan lain sebagaimana dikemukakan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) bahwa guru yang berstatus setelah 4 atau 5 tahun mengajar minta pindah dan akhirnya mengacaukan distribusi guru secara nasional.  

Namun alasan tersebut sebenarnya tidak semata-mata hanya dapat diatasi melalui kebijakan PPPK. Kebijakan ikatan dinas dapat saja sebenarnya diperbarui agar distribusi guru tetap merata di seluruh Indonesia. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) bereaksi keras dengan menyatakan bahwa kebijakan PPPK ini melukai para guru, bahkan merendahkan martabat guru. 

Alasan utama dari penolakan terhadap PPPK adalah hilangnya kepastian kerja, karena PPPK merupakan mekanisme kontrak kerja antara guru dan pemerintah. Guru yang berstatus sebagai PPPK merupakan tenaga kontrak, minimal dikontrak selama satu tahun dan dapat diperpanjang kembali. Artinya, bisa saja guru PPPK tidak diperpanjang lagi kontraknya sebagai guru.

Soal Kesejahteraan

Sebenarnya sejak lama isu kesejahteraan guru menjadi polemik. Bukan saja soal gaji guru honorer yang jauh di bawah UMR, melainkan juga kesejahteraan dan tunjangan guru swasta maupun yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jika ditarik ke belakang, munculnya kebijakan sertifikasi guru juga didasari oleh motif peningkatan kesejahteraan guru, oleh karena itu banyak studi menyatakan bahwa sertifikasi guru tidak serta merta meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas (lihat misalnya Fahmi et al., 2011; Syahril, 2016). 

Terlepas dari problem yang melingkupinya, kesejahteraan guru menjadi hal yang dituntut oleh para guru sejak lama walaupun dalam realitasnya tidak selalu bisa seiring sejalan dengan mutu guru. Lebih lanjut, kesejahteraan guru menjadi isu sentral berkaitan dengan penghargaan dan pemuliaan martabat guru. Secara teoretik, posisi guru sangat vital dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, guru menjadi garda depan dari salah satu upaya mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945. 

Penghargaan terhadap guru sudah sewajarnya diberikan karena posisinya yang sangat vital tersebut. Namun penghargaan tersebut tentu harus sesuai dengan kinerja guru. Kebijakan sertifikasi guru menjadi masuk akal di sini. Namun ketimpangan masih terjadi, yakni pada guru honorer dan sekolah swasta pinggiran. Walau secara faktual mereka kinerjanya lebih bagus dari guru PNS, kesejahteraan mereka tetap memprihatinkan.

Meningkatkan kesejahteraan guru melalui peningkatan gaji dan tunjangan merupakan penghargaan yang menjadikan guru lebih dapat fokus pada tugasnya sebagai guru. Dengan gaji dan tunjangan yang cukup, guru akan dapat memfokuskan dirinya dalam menjalankan tugasnya secara profesional sebagai guru di sekolah. 

Di negara-negara maju yang cukup menghargai profesi guru rata-rata memang gajinya besar seperti di Finlandia dan Singapura misalnya. Namun tentu saja besarnya gaji tersebut sebanding dengan tuntutan profesi dan kinerjanya. Belajar dari kebijakan sertifikasi guru, tentu soal kualitas guru tidak dapat ditingkatkan melalui peningkatan gaji dan tunjangan semata. Perlu juga reformasi pendidikan calon guru (pre-service teacher education) dan pelatihan guru yang berkelanjutan (in-service teacher education).

Secara sosiologis, status guru sebagai PNS merupakan jaminan kesejahteraan, oleh karenanya tetap dilirik oleh para guru. Ada kepastian soal gaji dan tunjangan, juga karier. Menjadi guru non-PNS oleh karenanya sering dipandang sebelah mata, terutama oleh kalangan yang mendambakan kepastian karier dan masa depan kerja. 

Di sisi lain sebenarnya banyak juga guru yang melihat justru menjadi PNS akan banyak menghambat pencapaian diri, karena banyak sekali aturan soal penilaian angka kredit, kepangkatan, supervisi, dan lainnya yang ribet dan berbelit-belit. Beberapa studi juga bahkan menunjukkan bahwa mentalitas PNS justru menghambat capaian profesionalitas guru. Studi Bjork (2005) misalnya menunjukkan guru PNS lebih patuh pada aturan PNS ketimbang kebijakan pengembangan profesionalitas guru yang lebih esensial.

Menimbang Solusi

Agar rasa keadilan dapat terpenuhi, agaknya akan lebih tepat jika pemerintah tetap membuka dua jalur bagi guru yang masih merasa bahwa pengabdian mereka akan terjamin ketika berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), yaitu melalui seleksi CPNS dan PPPK. Walau jelas bahwa status PNS bukan jaminan peningkatan kualitas guru, melainkan jaminan kepastian kerja, gaji, tunjangan, dan karier.  

Hal yang harus dipikirkan ulang soal kesejahteraan ini adalah (1) bisakah pemerintah mendorong guru yang nantinya berstatus PPPK aman statusnya? Artinya, tidak di-PHK di tengah jalan karena motif politis, bukan profesionalitas kerja; dan (2) bisakah pemerintah mendorong PT. Taspen untuk mengusahakan mereka juga mendapat uang pensiun nantinya? Misalnya dengan potong gaji tiap bulan, toh gaji PPPK disamakan dengan PNS.

Kedua hal tersebut penting, karena itulah yang selama ini disoal oleh para guru honorer ketika mereka terombang-ambing dalam kontrak kerja dengan gaji minim. Mereka sudah kenyang pengalaman bekerja dalam tekanan ekonomi dan politik, yakni mengerjakan apa saja yang diperintahkan oleh oknum senior di sekolah walau tanpa imbalan atau penghargaan sama sekali hanya agar ia dapat bertahan bekerja sebagai guru.

Dalam isu kesejahteraan guru ini, dengan jenjang karier dan gaji yang sama antara guru PPPK dan PNS, soal kepastian kerja dan pensiun perlu mendapat perhatian lebih.

Edi Subkhan pengajar Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang

(mmu/mmu)