Seorang kepala sebuah sekolah swasta tampak duduk termenung di ruang kerjanya. Berita yang disampaikan oleh salah seorang guru membuat dahinya berkerut. Padahal berita yang disampaikan adalah sebuah berita gembira. Lima dari 10 guru yang mengajar di SD itu diterima dalam Tes Penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) beberapa hari lalu.
Pemandangan ini tidak jauh berbeda dengan beberapa bulan sebelumnya. Saat itu 10 orang guru yang mengajar di S, itu menghadap di ruang kerjanya setelah pulang sekolah. Tujuan mereka menghadap adalah minta izin untuk mengikuti Tes PPPK yang diadakan pemerintah.
Permintaan izin ini tentu saja membuat dirinya sulit untuk memberikan jawaban. Melarang mereka mengikuti tes berarti menghambat masa depan mereka. Secara jujur harus diakui, gaji mereka jika diterima sebagai guru PPPK jauh lebih baik dibandingkan dengan honor yang mereka terima saat ini.
Di sisi lain, jika ia mengizinkan para guru tersebut mengikuti Tes PPPK, pasti ada konsekuensi di belakangnya. Jika beberapa dari mereka lolos tes, dan berhak menyandang predikat guru PPPK, ia harus kehilangan guru di sekolah binaannya. Padahal para guru tersebut rata-rata sudah mengajar lebih dari 5 tahun. Sehingga secara pengalaman mengajar, mereka dapat diandalkan.
Apa yang selama ini dikhawatirkan akhirnya terjadi. Ia bingung harus tertawa atau menangis menghadapi situasi ini. Sebagai bapak, seharusnya ia berbahagia. Sebab para guru yang sudah dianggap sebagai anak itu mampu meraih prestasi lebih tinggi. Namun sebagai seorang pimpinan, ia harus siap kehilangan 5 orang guru terbaiknya. Mereka akan mengabdikan ilmu mengajar yang selama ini didapat di sekolahnya, ke sekolah yang lain.
Situasi semacam inilah yang saat ini terjadi di beberapa sekolah swasta. Kembang-kempisnya mereka dalam mencoba bertahan hidup dengan segala keterbatasan harus berhadapan lagi dengan kenyataan pahit. Mereka harus merelakan guru-guru terbaiknya pergi meninggalkan tempat yang selama ini menjadi kawah candradimuka pematangan pengalaman mengajar.
Sebenarnya kenyataan pahit karena kehilangan guru-guru terbaik bukan hanya terjadi saat ini. Beberapa tahun yang lalu, tepatnya tahun 2005 pernah juga terjadi eksodus guru-guru sekolah swasta ke sekolah negeri. Saat itu pemerintah melakukan pengangkatan para Guru Bantu menjadi CPNS. Aturan yang berlaku saat itu adalah semua guru akan ditempatkan di sekolah-sekolah negeri yang ada di kota atau kabupaten tersebut.
Berita ini tentu saja membuat sekolah-sekolah swasta shock. Apalagi ada sekolah swasta yang harus merelakan lebih dari 10 orang guru pindah ke sekolah negeri, setelah menerima SK Pengangkatan CPNS. Dampaknya luar biasa. Sekolah-sekolah swasta mengalami krisis guru yang luar biasa. Mereka terpaksa harus merekrut guru-guru lagi dengan pengalaman mengajar nol.
Eksodus guru ke sekolah negeri ini pun ternyata mendatangkan masalah baru. Sebagian sekolah negeri mengalami kelebihan guru pada mata pelajaran tertentu. Sebab penempatan para guru tersebut tidak memperhitungkan kebutuhan guru yang ada di sekolah bersangkutan. Manakala seorang guru dituntut untuk memenuhi pemenuhan 24 jam sebagai syarat menerima TPG, masalah pun muncul.
Dari dua ilustrasi tersebut, tampak ada satu benang merah yang terhubung. Pengangkatan para guru menjadi tenaga PPPK bukan tidak mungkin akan menimbulkan permasalahan baru. Satu sisi, kesalahan dalam pengambilan kebijakan bisa berarti sebuah tindakan suntik mati pada beberapa sekolah swasta. Di sisi lain, kemungkinan akan terjadi permasalahan dalam pemenuhan jam mengajar bagi guru itu sendiri jika di sekolah yang dituju sudah ada guru dengan mata pelajaran yang sama.
Tapi jika pemerintah mau belajar dari peristiwa tahun 2005, ada sebuah langkah bijak yang dapat diambil. Mengembalikan para guru tersebut ke sekolah-sekolah dari mana mereka berasal, akan menjadi langkah terbaik. Langkah ini pasti akan banyak memberikan manfaat bagi sekolah-sekolah swasta.
Manfaat pertama tentu saja berkaitan dengan ketersediaan guru. Dengan mengembalikan mereka ke sekolah asal, akan muncul sisi keadilan. Sekolah-sekolah tersebut akan tetap dapat menggunakan guru-guru yang selama ini telah mereka bina. Pengalaman mengajar yang telah mereka miliki dapat membantu meningkatkan kualitas sekolah tersebut.
Manfaat kedua adalah segi pembiayaan. Status mereka sebagai guru PPPK yang notabene digaji pemerintah, akan sangat membantu sekolah swasta dalam bidang operasional. Mereka tidak lagi pusing-pusing untuk memikirkan gaji guru-guru tersebut. Anggaran yang ada dapat dialihkan untuk peningkatan kualitas pendidikan di sekolah itu.
Jika hal tersebut dapat terealisasi, maka peran sekolah swasta sebagai mitra pemerintah dalam bidang pendidikan dapat berjalan optimal. Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tidak mengabaikan peran swasta dalam penyiapan para penerus bangsa, tidak hanya sekedar slogan saja.
(mmu/mmu) detik